Nov 4, 2008

Dari Tetralogi ke Trilogi

"Penderitaan yang dikemudikan hati nurani yang sehat,
itulah nanti yang akan menjadi mahagurumu…”
[Lusi Lindri, hlm 707]

Ada sensasi tersendiri setelah dalam 3 bulan ini kuselesaikan membaca buku-buku tebal. Dari tetralogi Pramoedya, Anak Semua bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah kaca (Bumi Manusia udah selesai kubaca 3 tahun lalu, sebagai gantinya aku membaca Arok Dedes). Keempatnya kuanggap novel sejarah awal indonesia yang exciting; lalu disambung membaca Trilogi Rara Mendut (Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri) karangan YB. Mangunwijaya (Romo Mangun) yang aku habis telan selama dua minggu.
Tak disangka buku-buku yang rata-rata tebalnya 500an halaman itu dapat kubaca. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Apakah ini sebuah obesesi? Mungkin juga. Namun hal yang menarik bagiku adalah pertama-tama isi bukunya dan juga pengarangnya. Dalam hati aku juga berkata, “masakan kita tak menghargai karya anak bangsa sendiri?”. Mereka tak kalah spektakuler dalam membuat novel dibandingkan dengan pengarah-pengarang dari luar.

Kemenangan adalah Sejarah sebuah Kekalahan

Tetralogi Pram dan Trilogi Mangun adalah novel sejarah yang mengankat para pembangun bangsa ini. Tidak ada hero diakhir ceritanya. Selalu ada tragedi dan elegi. Bahkan mungkin yang ada adalah rentetan kekalahan dari tokoh-tokohnya. Mereka kalah, dikalahkan, dikucilkan, dibuang, bahkan dibunuh. Mingke dalam Tetralogi Pram yang begitu berkobar di awal toh akhirnya mati karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Hidupnya juga tak pernah tenang senantiasa diawasi seperti rumah Kaca yang dengan mudah dilihat dari luar oleh komisaris Pangemanann.

Rara Mendut lebih tragis lagi. Demi mempertahankan cinta dan kehormatannya ia mati bersama Pranacitra kekasih hatinya. Keserakahan dan kuasa hadir dalam diri Tumenggung Wiraguna yang terobsesi terhadap Rara Mendut walau ia punya banyak selir. Genduk Duku lebih beruntung dari Rara Mendut, sahabat sekaligus guru kehidupannya. Ia dapat menemukan kekasih hatinya Slamet. Namun toh di tengah ambisi kekuasaan Mataram suaminya mati. Beruntung dalam pelarian dan petualangannya ia selamat dan menjadi ibu yang sesungguhnya bagi Lusi Lindri, anaknya.

Lusi Lindri, tampil sebagai tokoh yang lebih bersinar. Ia mendapat kedudukan yang tinggi dalam Keraton Mataram. Ia menjadi salah satu anggota Trinisat Kenya, pasukan elite pengawal raja. Ia berperan penting dalam pergolakan Mataram hingga akhirnya tidak tercerai-berai. Namun ia menyingkir bersama Mas Peparing karena raja mataram yang semakin ambisius. Ia bergabung dengan pemberontak di daerah Gunung Kidul dalam usaha menghancurkan kesewenang-wenangan Mataram.

Kekalahan, mati, tersingkir bukanlah kekalahan pada dirinya sendiri. Mereka adalah simbol perjuangan. Mereka meraih kemenangan dengan caranya sendiri. Perjuangan yang ditunjukkan bukan untuk dinikmati sendiri. Perjuangan telah melahirkan dn menginsirasi orang-orang disekitarnya. Mingke telah mengobarkan nasionalisme bagi cikal bakal lahirnya Indonesia. Rara Mendut menjadi legenda. Legenda yang menginspirasi wanita-wanita jawa, Genduk Duku, Arumardi, Lusi Lindri. Namanya mengingatkan rakyat jelata akan luhurnya kehormatan wanita.

Dari Pembaca menjadi Pelaku

Membaca novel-novel tersebut serasa kita diajak masuk sebagai pelaku yang real menyaksikan dan terlibat intens di dalamnya, terlebih dalam hal emosi. Ketika sampai di halaman terakhir, perlu momen untuk menarik diri lagi kembali ke kenyataan. Dalam pikiran terbangunseperangkat konsep akan masa lalu, akan silsilah nenek moyang dan pendahulu kita. Kita ada mungkin juga lahir mearisi kekalahan dan perjuangan masa lalu. So what?

Sejarah yang melatarbelakangi cerita menjadi pemahaan yang memberi cakrawala baru. Mungkin kita terlalu dimonopoli oleh buku-buku sejarah (yang tidak selalu benar dan merupakan narasi tunggal). Fiksi memang bukan kenyataan tapi fiksi memberikan perspektif. Bukan benar salah, tepat keliru yang penting tapi penghargan kita akan perjuangan dan kebijaksanaan di masa lalu.

Ketika kita sedang membaca kita hadir sebagai pembaca, namun setelah halaman terakhir kita adalah pelaku sejarah itu sendiri. Kita mau apa? Kebijkasanaan masa lalu itulah yang menjadi mutiara-mutiara yang mengisi pundi-pundi perbekalan kita. Ketika ketakutan, kesulitan menimpa kita, ada ketegaran, keteguhan, dan perjuangan yang ada dalam perbekalan kita.


Laut menyatukan kembali apa yang pada awal mula memang sudah bersatudi angkasa. Laut menerima seala sesuatu yang busuk dan rusak, yang hanyut dan dianggap buangan. Laut merangkul semua itu dengan ikhlas. Tetapi biar hanya Lumpur dan kebusukan sah kotor belaka yang ia terima, bau laut tidak busuk. Penuh pengertian dan pengampunan bagi segala yang jelek dibenamnya. Dalam nyanyia yang merdu keikhlasan yang riang. Laut tak pernah murung, tak pernah mengeluh. Kapal seberat apapun ia gendong, dan ikan hiu seganas apapun ia emban. (Lusi Lindri dalam Rara Mendut, p. 556)

Sekarang baca apa lagi ya????