Sep 2, 2011

Pulang

Pulang adalah saat yang dinantikan bagi banyak orang. Kerinduan untuk pulang menarik lebih daripada aneka peristiwa dalam hidup. Lagu tentang pulang pun telah banyak, ada pulang-nya Andien, pulang-nya Float, atau home-nya Buble, dan masih banyak lagi. Pulang itu menjadi aktual ketika kerinduan berjumpa dengan apa yang dirindukan.

Pulang adalah sebuah perjalanan tertentu yang harus ditempuh oleh banyak orang. Lihatlah perjuangan para pemudik demi sebuah pulang yang mereka rindukan. Walau setiap tahun selalu terjadi ruwet macet tetapi demi sebuah pulang semua dijalani, bahkan dengan gembira hati. Kerinduan adalah api dan modal dari pulang yang dinanti itu.


Pengalaman lima hari di Wat Tam Dhoi Tone sebuah pertapaan budhis di utara Chiang Mai adalah pengalaman pulang yang saya alami. Dalam lima hari itu setiap orang diajak masuk dalam keheningan, masuk dalam meditasi vipassana. Sederhana sekali orang hanya memusatkan diri pada pernafasan, nafas masuk , nafas keluar. Ini bukan yoga, bukan olah pernafasan, olah tenaga dalam, bukan juga reiki dan semacamnya, melainkan sarana menyadari diri yg terdiri dari tubuh (body) and pikiran (mind). Karena dua hal inilah yang menjadi dasar keberadaan manusia. Mengapa menyadari pernafasan? Karena dalam hening pernafasanlah yang dapat kita rasakan. Namun walau sederhana tidak mudah selalu ada banyak gangguan aneka pikiran, fantasi, dll. Di sanalah tantangan untuk memusatkan pada present moment, kini dan di sini.

Meditasi selama 8-10 jam sehari adalah sebuah perjalan pulang. Pulang ke dalam rumah diri kita yang paling dalam. Dalam hidup banyak kita mengalami hal-hal yang melekat, mengganggu, menghantui. Itulah attachment. Kelekatan kita membuat kita kadang bertindak berdasarkan apa yang ‘nggelendhoti’ kita. Perjalan pulang ke dalam diri mengajak kita menyadari jiwa yang murni (purity) dimana kita dapat melakukan dettachment terhadap aneka pengalaman, peristiwa, atau ketakutan akan masa depan. Kita kadang lebih nyaman hidup dalam ketakutan akan masa lalu atau bahkan ketakutan akan masa depan . Padahal kita diajak hidup dalam present moment kita.

Pulang ke dalam kedirian kita yang paling dalam, ke dalam kemurnian diri adalah kerinduan semua orang. Apakah kerinduan itu menggerakkan dan mendorong kita melangkah, untuk berani menapak dalam jalan menuju kedalaman diri menyadari kemurnian hati dan pikiran. Di sana kita akan sampai ke rumah kita yang paling nyaman yang tidak diliputi kekawatiran, cemas, dan hidup yang spontan dan mengalir saja.

Di sana kita mendiami dan mengalami apa yang dalam Kungfu Panda 2 disebut dengan inner peace. Semoga kerinduan pulang ke dalam diri selalu ada dalam hati Anda semua.

Untuk Anda yang telah menempuh pulang dan menyadari dan mengalami kegembiraan kembali dalam kemurnian diri yang fitri ini, Selamat Idul Fitri.

Feb 27, 2011

Ceritanya

Ada perempuan berlari ke kuburan
Langkahnya tergesa dikejar lara
Ada seonggok luka di tubuhnya
Jauh di rongga jiwanya

Aku ingin mati saja, ujarnya
Aku tak layak di dunia
Terlalu sakit lukaku
Terlalu berat sanggaku

Tapi kubur itu kaku
Batu, nisan diam membisu

Air mata…
jadilah yang kupunya
Pisau pembelah batu
Pelapuk segala yang kaku

Menangislah ia
Meninggalkan dunia,
berharap jiwanya merdeka


[© djodja, 2011]

Feb 7, 2011

Spiritualisme Kritis: Apa itu?

Misteri adalah rahasia, yang jawabnya sealu tertunda. Misteri kawanku, adalah dia yang jawabannya selalu takkan pernah terpedang. Yang menempatkan Kau dalam suasana kepedihan dan harapan sekaligus.
(p. 453)


Ayu utami menamakan novel terbarunya, Bilangan Fu, sebagai sebuah spiritualisme kritis. Apa maksudnya spiritualisme kritis di sini? Kata kritis sendiri bisa bermakna ganda. Kritis dalam arti genting, sekarat, mengkhawatirkan; atau juga kritis dalam arti cerdas, mempertanyakan, meragukan, mengkritik.

Membaca Bilangan Fu kata kritis bisa bermakna dua-duanya. Hidup bergama kita memang dalam keadaan kritis. Pertikaian antar agama tak pernah habis. Agama menjadi kuasa, seolah-olah pemegang kebenaran satu-satunya. Dosa monoteisme adalah memaksakan kebenarannya kepada orang lain dengan klaim universal-nya persis seperti klain modernisme, yang mengagungkan rasio, rasioalah ukuran segalanya.

Apa yang mau dikritik adalah konteks Indonesia seputar reformasi dan pasca reformasi hingga sekarang. Akal ‘modernisme’ tidak sepernuhnya membebaskan manusia malah membuat manusia terkotak-kotak dengan klaim-klaim kebenarannya. Kelompok Farisi, Mamon-lah yang mau dikritik melalui tokoh Parang Jati. Modernisme dan monoteisme pada akhirnya hanya mengejar kuasa, kuasa untuk mengukuhkan kekuasannya.

Militerisme masuk, bahkan menjadi bahaya modern saaat ini. Militerisme dapat menjadi alat untuk melanggengkan kuasa itu. Kasus penambangan di Watugunung adalah usaha memotret situasi Indonesia terlebih dalam masa Orba, yang dalam masa sekarang masih ada. Budaya kekerasan, teror, stabilisasi keamana adalah alat-alat untuk menegaskan hegemoni kekuasaan. Monoteisme juga terjalin dengan militerisme karena keduanya sama-sama ingin menunjukkan kekuasaan, jangan macam-macam dengan saya! Tidak saja militer yang harus kembali ke barak tapi ulama juga harus kembali ke tempatnya. Dengan mengembalikan agama ke tempatnya, agama menjadi spirit dan bukan hukum. Sebab moralitas adalah spirit yang seharusnya tumbuh dari dalam diri manusia, sementra hukum adalah alat kekuasaan. (p. 478)!

Spiritualisme kritis (laku-kritik) pertama-tama bukan sikap anti, menolak, bahkan melawan. Kritis di sini berarti menyangga, memikulnya gar tidak jatuh ke tanah. Sebab jika kebenaran jatuh ke tanah hari ini, ia menjelma menjadi kekuasaan (p. 521). Misteri Allah tidak akan cukup diwakili dalam konsep satu (esa). Allah tidak terangkum dalam bilangan satu. Itulah misteri Allah. Dan itu dapat digambarkan dalam Bilangan Fu, bukan nol atau satu.

No Way Out?
Walau penulis tidak memaksudkan bahwa monoteisme jahat dan harus dihapus, namun apakah tidak ada jalan keluar lagi? Kiranya yang salah bukan pada monoteisme an sich melainkan pada bagaimana manusia memperlakukannya. Ketika ia mengklaim kebenaran tunggal, universal disanalah agama telah menjadi kekuasaan yang menindas. Dimensi pembebasan agama adalah ketika agama itu mampu menjunjung tinggi kemanusiaan, yang akhirnya keutuhan ciptaan.

Dalam bagian akhir dilukiskan juga bagaimana Kupu-Kupu, yang sebelumnya menyebut diri Farisi, mengalami pertobatan. Ia merawat kembali langgar kecil di pinggir Laut Selatan (yang tak berpintu di timur melainkan di selatan) yang didirikan gurunya Penghulu Semar. Begitu mudahkan seorang fanatis-garis keras bertobat? Ataukah ini demi plot happy ending semata? Tak tahulah. Tapi fanatisme, garis keras, atau apapun namanya tidak akan mudah mengalami pertobatan.

Ah…lebih baik mungkin saya menjadi seorang radikal saja dalam beragama. Radikal berasal dari radic (akar). Beragama berarti memahami akar agamaku, tanpa menjadi picik atau bahkan keblinger. Karena tujuan semuanya adalah Sang Pencipta sendiri, dari sana dan di sanalah manusia berasal dan akan kembali bersatu…..tabik.

(Ayu Utami, Bilangan Fu, Jakarta: KPG, 2008, x + 537 hlm)

Penderitaan dan Keajaiban Hidup Sehari-hari

Keajaiban itu bisa berarti ketika kita makin dekat dengan Tuhan, dengan segala doa, segala upaya kepatuhan dan kesetiaan. Tapi juga berarti kita menyatu dengan Tuhan, dan tetap bisa memaknai tanda-tanda yang diberikan dan tetap hidup dalam kenyataan sehari-hari. [hlm. 235]


Membaca Horeluya akan mengajak pembaca masuk ke dalam kesederhanaan hidup, masuk dalam keseharian manusia. Penderitaan yang menjadi tema sentral novel ini mengajak pembaca menentukan sikap mau menyerah (pasrah) atau menolak, berontak dan mengutuk Tuhan. Namun Horeluya menampilkan sisi lain dari realitas penderitaan. Di dalamnya orang masih bisa menemukan kejaiban. Bagaimana analisa teks menemukan dan sampai kepada keajaiban itu?

Novel ini oleh penerbit dikategorikan sebaai Novel Dewasa. Entah apa maksudnya. Mungkin memang diperlukan pembaca yang dewasa untuk menemukan makna dan ‘pelajaran’ dari teks yang disajikan ini. Maka analisa naratif menjadi proses awal menganalisa Horeluya. Analisa itulah yang semakin memperkaya dan menegaskan otonomi teks. Arwendo sendiri pernah menulis, “Rasanya resensi itu menambah informasi, apalagi tambahan sinopsis yang pas. Ini yang selama ini saya percayai sebagai kreativitas publik. Bukan hanya pengarang atau seniman atau penyair yang berproses secara kreatif.” Analisa, sinopsis, atau resensi dan segala macamnya adalah sebentuk kreativitas pembaca yang mengambil jarak terhadap teks.

Horeluya mengisahkan dengan cerdas Lilin, anak perempuan berumur 5 tahun, yang mengidap penyakit langka berupa kelainan darah yang hanya bisa disembuhkan melalui transfusi dari donor dengan golongan darah yang sejenis. Lilin memiliki golongan darah rhesus negative dan tak mampu memproduksi sel-sel darah putih. Gangguan kecil atau lingkungan yang tidak kondusif bagi kesehatan akan sangat mungkin bisa memperburuk kondisi Lilin. Itu disebabkan karena tubuhnya tidak bisa lagi memproduksi kekebalan tubuh. Hanya satu jalan keluar agar nyawa Lin bisa selamat yakni transfusi dari golongan darah yang sama. Sayangnya, jenis darah Lilin tergolong jenis yang langka. Oleh dokter, Lilin telah divonis bahwa tak akan hidup lebih dari 3 bulan lagi jika tidak segera mendapatkan donor. Kokrosono dan Eca, istrinya, orang tua Lilin, telah mencari dan berusaha menemukan segala cara demi kesembuhan anak tunggalnya.


Keadaan sepertinya tidak menjadi lebih baik karena tidak ada jalan keluar yang diperoleh. Sebagai keluarga katolik yang taat, Eca dan Kokro, memanjatkan doa-doa, berharap terjadi sebuah keajaiban yang akan menyembuhkan Lilin. Keajabian itu diharapkan Eca dengan berdoa di sebuah gereja tua di kampung mereka, di depan goa Maria, memohon tidada henti demi kesembuhan putrinya tercinta. Kebiasaan Eca berdoa itu menjadi berita heboh di koran internasonal karena ternyata ada wartawan koran daerah (Adam) yang memotret dan memasang foto Eca yang sedang berdoa dengan judul ‘Menangis di depan Patung’ yang disertai tulisan, “Apakah di zaman yang sudah sangat modern ini masih perlu menyembah patung atau berhala? Apakah patung akan memberikan jawaban, ataukah ikut menangis darah tanda prihatin?

Keadanyaan ternyata menjadi lebih runyam. Derita Kokro dan Eca tidak hanya berhenti di situ saja. Kokro diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik biskuit karena orang di bagian personalia tidak senang dengannya dan berusha menyingkirkannya namun dia bisa mengatasi karena ia punya usaha sampingan, usaha ‘letter’, usaha spanduk yang dirintisnya bersama Nayarana, adik lelakinya, yang tak pernah sepi dari pesanan. Naya yang dikenal sebagai preman, berperilaku sangar, namun disegani banyak orang, menjadi warna lain dan gambaran sikap realistis praktis, menembus sikap kalem Kokro kakaknya. Kehadiran Naya memberi warna lain dari kesedihan karena penderitaan yang seakan tiada habisnya. Naya digambarkan cuek, suka bergurau, keras. Namun di depan Lin ia menjadi pribadi yang sama sekali lain. Ia hanya bisa tenang dan berubah ketika di depan Lin yang baginya dianggap sebagai malaikat kecil.

Sekilas Horeluya menampilkan cerita yang tidak sangat istimewa, namun dengan segala “kesederhanaan” realis yang ditampilkannya, justru menjadi kekuatan novel realis ini. Horeluya berangkat dari kehidupan sebuah keluarga yag sangat terlihat Jawanya. Digambarkan dalam keluarga Kokro tinggal juga adiknya, Naya dan Ade, adik istrinya. Inilah yang khas dalam msayarakat Jawa, dalam keluarga tidak hanya keluarga inti saja melainkan tinggal juga ada anggota lain seperti adik, kakak, atau paman dan bibi demi menjaga hubungan kekeluargaan. Penceritaan Arswendo yang santai dan kadang-kadang jenaka semakin memberi penggambaran yang nyata sehingga mengajak pembaca untuk tidak berhenti dan didorong ingin tahu akhir kisah.

Horeluya menampilkan bagaimana religiositas masyarakat Indonesia di kota kecil menghadapi pengalaman penderitaan dan bagaiman manusia selalu ingat akan Tuhannya. Namunkepasarahan tidaklah semudah yang dibayangkan. Ketika kita lari kepada Tuhan, penderitaan itu tetap nyata dan di depan mata. Perlu sikap hidup dan disposisi sikap yang jelas. Kokrosono menunjukkan bagaimana tegar dan menjalani semua dengan sepenuh hati dan tidak berputus harapan. Dalam Horeluya Arswendo menunjukkan bagaimana keajaiban itu nyata dan bekerja dalam kehidupan sehari-hari.

Lilin (biasa dipanggil Lin), Teresa Lilin Sekartaji lengkapnya, gadis kecil anak pasangan Kokro dan Eca, menderita penyakit kanker sumsum tulang belakang. Tubuhnya tidak mampu menghasilkan sel darah putih yang berakibat ia tidak memiliki kekebalan tubuh. Hidupnya diprediksikan tidak lama lagi. Dalam keluarga ini juga tinggal Naya, adik Kokro, seorang preman, mengurusi usaha sablon yg terkenal dengan usaha ‘letter’; juga tinggal Ade, adik Eca. Lilin menjadi pusat perhatian keluarga tersebut karena paling kecil yang bisa digoda dan dimanja. [hlm. 31]

Eca adalah seorang ibu yang saleh dan mempunyai iman besar dengan tiap hari berdoa di depan patung Bunda Maria. Kokro, ayah lin, masih ingin mempunyai iman seperti istrinya, namun juga merasa kering dan gelap. Ia dan adiknya, Nayarana, pernah mengalami kepedihan yang mematikan, tapi kini merasa gamang. Kokro dan Naya menjadi yatim piatu sejak ayah dan ibunya dibunuh pada tahun 1965. Segala upaya manusiawi, juga segala doa, berlomba dengan usia Lin yang diramalkan secara medis hanya bertahan beberapa bulan. Keinginan Lin terakhir adalah bis merayakan Natal –sebelum waktunya, karena usianya tak sampai bulan Desember-dengan turunnya salju. Sesuatu yang sama mustahilnya, karena desa itu yang turun adalah hujan, dan tak ada gua atau pesta.

Setelah divonis dokter bahwa hidup Lilin tidak akan lama lagi jika tidak ada pendonor membuat semua keluarganya was-was. Kondisi Lin harus senantiasa dijaga supaya tidak drop kesehatannya. Semua menjaga Lilin supaya tidak kepanasan, mudah capek. Semua yang diminta Lin coba dituruti. Juga ketika menjelang bulan Desember ia minta merayakan Natal di rumah, tidak di gereja atau di sekolah. Namun hal itu bukan yang menjadi masalah. Yang menjadi pemikiran adalah ia minta Natal kali ini ada saljunya. Inilah yang sulit, mana ada salju di daerah tropis, seperti Indonesia.
Nayarana sang paman yang diminta langsung oleh lilin dibuat pusing. Lilin tidak mau jika hanya salju-saljuan dari es batu. Namun akhirnya Naya mendapatan ide dan pada hari Natal, jalan menuju rumah lilin dihisasi lampu-lampu. Siti, sahabat Ade, anak kursusan Eca, Eka diarak sebagai Bunda Maria yang mencarai tempat penginapan mampir ke rumah Lilin untuk menumpang. Tidak hanya itu seluruh kampung juga bergembira dan merayakan Natal demi Lilin. Salju yang dijanjikan datang juga dalam kapas-kapas tipis yang beterbangan di sekitar rumah Lin. Semuanya berteriak ‘hore hore….yang berubah menjadi horeluya’

Penderitaan semakin berat manakala Kokro, ayah Lin, dipecat dari perusahaan Wafer Lilin tempat ia bekerja karena pemilik pabrik mengalami pindah tangan dan terjadi pengurangan pegawai. Di tengah kesehatan Lilin yang tidak mengalami kejelasan penyembuhannya, pemecatan Kokro seakan melengkapi penderitaan keluarga itu. Pemecatan ini dilkukan secara bergelombang. Kokro dipecat dalam gelombang pertama karena berada dalam jabatan penting, marketing dan pemasaran. Jika kokro dan 15 karyawan lain diberhentikan terlebih dahulu dan tidak menimbulkan gejolak maka karyawan lainpun juga akan mudah diberhentikan. [hlm. 18]

Kebiasaan Eca, istrinya berdoa di depan patung Bunda Maria, juga menjadi berita heboh bernada sinisme di media internasional karena foto Eca ditampilkan di media internasional, oleh seorang wartawan foto bernama Adam, dengan judul “Menangis di depan Patung’. Berita ini mendapat rekasi luas. Naya sebenarnya marah dengan berita ini. Sebagai preman ia ingin memberi pelajaran kepada Adam. Namun istrinya sudah minta maaf dahulu kepada Kokro dan minta supaya Naya tidak membalas dendam atau bertindak kepad Adam.

Pemuatan foto Eca yang ‘Menangis di depan Patung” ternyata mendapat rekasi di kalangan luas, sampai ke luar negri. Banyak orang justru bersimpati. Seorang ibu asli dari Malaysia, Devi Effendi yang pernah bersuamikan orang Indonesia, ternyata bergolongan darah sama dengan Lin berniat menyumbangkan darahnya untuk Lin. Sayang ia ada di Kanada, tapi ia akan ke Indonesia untuk donor. Semua anggota keluarga Kokro senang dengan adanya kabar seorang pendonor untuk Lin. Namun mereka harus bersabar menunggu kedatangan Ibu Devi dari Kanada.
Simpati tidak hanya sampai di situ banyak donatur rela menanggung biaya tiket, rumah sakit dan akomodasi lainnya. Mulai dari pihak rumah sakit, Bupati, dan penyumbang lainnya. Jadilah Kokro, Eca, dan Lin berangkat ke rumah sakit di Jakarta sambil menunggu kedatangan Ibu Devi. Kokro mendapatkan ijin khusus dari perusahaan selama mengurus kesehatan Lin. Semua anggota keluarga merasa mendapat gairah setelah ada kabar pendonor untuk Lin.

Ada kabar lain yang juga menggembirakan bagi keluarga Kokro. Ia yang semula diberhentikan dari pekerjaan dipekerjakan kembali. Pemberhentiannya ternyata hanya akal-akalan bagian personalia yang tidak suka dengannya. Berita itu disampikan Musa, teman sekantor Kokro, “Sekarang terbongkar semuanya. Ketahuan belangnya. Siapa yang jahat akan terlihat. Ini surat panggilannya.” [hlm. 169]

Ibu Devi Effendi memang jadi akan datang. Ia tinggak di rumahnya di Malaysia. Namun malang, rumahnya dirampok dan ia mengalami luka yang cukup parah akibat tembakan perampok yang menyatroni rumahnya. Luka yang dialaminya mengakibatkan kondisi fisiknya tidak stabil dan tidak bisa melangsungkan donor bagi Lin. Lilin tahu bahwa donor dari Bu Devi tidak bisa dilaksanakan sekarang. Ketika mendengar dari ibunya ia bahkan berucap, “Bu, kalau Bu Devi perlu darah…darah Lilin bisa disumbangkan khan bu? …Lilin mau menyumbangkan darah untuk bu Devi…” [hlm. 208]. Semua memandangi. Takjub kepada Lin. Ucapan lilin, “Lilin mauuuu…”, menjadi hal yang mengharukan yang keluar dari mulur anak kecil,sepuluh tahun. Arswendo menggambarkan pengalaman menyentuh ini dengan koor malaikat menyanyikan lagi: “Lilin mauuuu…”
Devi Effendi terguncang [hlm. 212]. Mendengar ucapan Lilin, yang juga ditulis dalam surat kabar, Bu Devi merasa perlu untuk harus ketemu Sekar, panggilannya untuk Lilin. Ia merasa bahwa sepanjang hidupnya ia merasa tak banyak berarti. Ia berharta banyak, hidup serba kecukupan. Ia terguncang akan ketulusan Sekar dan membuatnya percaya ketulusan itu masih ada. [hlm. 214]. Hal itu tidak bisa terwujud karena kesehatannya tidak memadai. Maka dicari kompromi, Sekar dan keluarga, ayah, ibu dan Siti diundang dan dijemput oleh Antoni Effendi, anaknya, ke Malaysia untuk bertemu.

Perkataan Lilin “mauuuuu…” (yang ada dalam ilustrasi cover Horeluya) menjadi judul berita besar dan menggerakkan serta membesarkan hati. Berita itu bahkan sampai New York dan lembaga itu bisa menyediakan darah yang dibutuhkan Lin dan siap melakukan donor kapanpun. [hlm. 225]. Sementara Lilin bisa bertemu dengan Bu Devi mereka berjalan-jalan bersama ke Bali, Lombok, Bunaken. Donor memang belum terlaksana. Kokro Eca, Siti dan Lilin kembali ke Jogja. Ade dan Naya gembira mendengar perkembangan yang ada.

Tidak ada ‘akhir’ yang jelas dalam novel ini. Pembaca tidak tahu apakah in jadi mendapat donor dan sembuh. Di akhir novel hanya digambarkan bahwa Lin dan kedua orang tuanya mengalami keadaan bahagia bersama Ibu Devi dan menikmati liburan bersama sambil menunggu kondisi Ibu Devi membaik dan siap melakukan donor. Horeluya diakhiri dengan sebuah percakapan antara Naya dan Ade yang mengalami perubahan setelah peristiwa yang menimpa Lin dan bagaimana menyikapi peristiwa itu.

Naya juga merasa diubah dan ia berkata, “Keajaiban terasakan ketika ada pertolongan atas Lilin. Atau ketika saya menyadari Lilin menderita. Tetapi juga bisa berarti keajaiban ini karena kia merasakan, mengalami. Itulah keajaiban utama, dimana kita bisa menjadi bebas menjalani. Kita merdeka. [hlm. 235]. Adepun juga menyadari adanya keajaiban itu, “Keajaiban itu bisa berarti ketika kita makin dekat dengan Tuhan, dengan segala doa, segala upaya kepatuhan dan kesetiaan. Tapi juga berarti kita menyatu dengan Tuhan, dan tetap bisa memaknai tanda-tanda yang diberikan dan tetap hidup dalam kenyataan sehari-hari. ” [hlm. 235].

Lilin yang menjadi pusat perubahan, Naya menjadi orang yang diubah banyak pengalaman yang dilamai Lilin, keponakannya tercinta. “Sakit ini tak ada hubungannya dengan apakah Lilin berkelakuan baik atau buruk. Atau ayah-ibunya berkelakukan baik atau buruk. Penyakit Lilin bukan hukuman atau peringatan dari Tuhan. Jadi tak perlu menuntut ke Tuhan, atau mempertanyakan.” [hlm. 200]. Pengalaman Lin sakit menjadi pengalaman eksistensial bagi seluruh anggota keluarga. Misalnya saja Siti yang masih ragu apakah dia menyukai sesama jenis atau tidak pada akhirnya ia menyadari bahwa cinta sejatinya adalah Naya karena disamping Naya ia merasa menjadi wanita sejati.