Sep 2, 2011

Pulang

Pulang adalah saat yang dinantikan bagi banyak orang. Kerinduan untuk pulang menarik lebih daripada aneka peristiwa dalam hidup. Lagu tentang pulang pun telah banyak, ada pulang-nya Andien, pulang-nya Float, atau home-nya Buble, dan masih banyak lagi. Pulang itu menjadi aktual ketika kerinduan berjumpa dengan apa yang dirindukan.

Pulang adalah sebuah perjalanan tertentu yang harus ditempuh oleh banyak orang. Lihatlah perjuangan para pemudik demi sebuah pulang yang mereka rindukan. Walau setiap tahun selalu terjadi ruwet macet tetapi demi sebuah pulang semua dijalani, bahkan dengan gembira hati. Kerinduan adalah api dan modal dari pulang yang dinanti itu.


Pengalaman lima hari di Wat Tam Dhoi Tone sebuah pertapaan budhis di utara Chiang Mai adalah pengalaman pulang yang saya alami. Dalam lima hari itu setiap orang diajak masuk dalam keheningan, masuk dalam meditasi vipassana. Sederhana sekali orang hanya memusatkan diri pada pernafasan, nafas masuk , nafas keluar. Ini bukan yoga, bukan olah pernafasan, olah tenaga dalam, bukan juga reiki dan semacamnya, melainkan sarana menyadari diri yg terdiri dari tubuh (body) and pikiran (mind). Karena dua hal inilah yang menjadi dasar keberadaan manusia. Mengapa menyadari pernafasan? Karena dalam hening pernafasanlah yang dapat kita rasakan. Namun walau sederhana tidak mudah selalu ada banyak gangguan aneka pikiran, fantasi, dll. Di sanalah tantangan untuk memusatkan pada present moment, kini dan di sini.

Meditasi selama 8-10 jam sehari adalah sebuah perjalan pulang. Pulang ke dalam rumah diri kita yang paling dalam. Dalam hidup banyak kita mengalami hal-hal yang melekat, mengganggu, menghantui. Itulah attachment. Kelekatan kita membuat kita kadang bertindak berdasarkan apa yang ‘nggelendhoti’ kita. Perjalan pulang ke dalam diri mengajak kita menyadari jiwa yang murni (purity) dimana kita dapat melakukan dettachment terhadap aneka pengalaman, peristiwa, atau ketakutan akan masa depan. Kita kadang lebih nyaman hidup dalam ketakutan akan masa lalu atau bahkan ketakutan akan masa depan . Padahal kita diajak hidup dalam present moment kita.

Pulang ke dalam kedirian kita yang paling dalam, ke dalam kemurnian diri adalah kerinduan semua orang. Apakah kerinduan itu menggerakkan dan mendorong kita melangkah, untuk berani menapak dalam jalan menuju kedalaman diri menyadari kemurnian hati dan pikiran. Di sana kita akan sampai ke rumah kita yang paling nyaman yang tidak diliputi kekawatiran, cemas, dan hidup yang spontan dan mengalir saja.

Di sana kita mendiami dan mengalami apa yang dalam Kungfu Panda 2 disebut dengan inner peace. Semoga kerinduan pulang ke dalam diri selalu ada dalam hati Anda semua.

Untuk Anda yang telah menempuh pulang dan menyadari dan mengalami kegembiraan kembali dalam kemurnian diri yang fitri ini, Selamat Idul Fitri.

Feb 27, 2011

Ceritanya

Ada perempuan berlari ke kuburan
Langkahnya tergesa dikejar lara
Ada seonggok luka di tubuhnya
Jauh di rongga jiwanya

Aku ingin mati saja, ujarnya
Aku tak layak di dunia
Terlalu sakit lukaku
Terlalu berat sanggaku

Tapi kubur itu kaku
Batu, nisan diam membisu

Air mata…
jadilah yang kupunya
Pisau pembelah batu
Pelapuk segala yang kaku

Menangislah ia
Meninggalkan dunia,
berharap jiwanya merdeka


[© djodja, 2011]

Feb 7, 2011

Spiritualisme Kritis: Apa itu?

Misteri adalah rahasia, yang jawabnya sealu tertunda. Misteri kawanku, adalah dia yang jawabannya selalu takkan pernah terpedang. Yang menempatkan Kau dalam suasana kepedihan dan harapan sekaligus.
(p. 453)


Ayu utami menamakan novel terbarunya, Bilangan Fu, sebagai sebuah spiritualisme kritis. Apa maksudnya spiritualisme kritis di sini? Kata kritis sendiri bisa bermakna ganda. Kritis dalam arti genting, sekarat, mengkhawatirkan; atau juga kritis dalam arti cerdas, mempertanyakan, meragukan, mengkritik.

Membaca Bilangan Fu kata kritis bisa bermakna dua-duanya. Hidup bergama kita memang dalam keadaan kritis. Pertikaian antar agama tak pernah habis. Agama menjadi kuasa, seolah-olah pemegang kebenaran satu-satunya. Dosa monoteisme adalah memaksakan kebenarannya kepada orang lain dengan klaim universal-nya persis seperti klain modernisme, yang mengagungkan rasio, rasioalah ukuran segalanya.

Apa yang mau dikritik adalah konteks Indonesia seputar reformasi dan pasca reformasi hingga sekarang. Akal ‘modernisme’ tidak sepernuhnya membebaskan manusia malah membuat manusia terkotak-kotak dengan klaim-klaim kebenarannya. Kelompok Farisi, Mamon-lah yang mau dikritik melalui tokoh Parang Jati. Modernisme dan monoteisme pada akhirnya hanya mengejar kuasa, kuasa untuk mengukuhkan kekuasannya.

Militerisme masuk, bahkan menjadi bahaya modern saaat ini. Militerisme dapat menjadi alat untuk melanggengkan kuasa itu. Kasus penambangan di Watugunung adalah usaha memotret situasi Indonesia terlebih dalam masa Orba, yang dalam masa sekarang masih ada. Budaya kekerasan, teror, stabilisasi keamana adalah alat-alat untuk menegaskan hegemoni kekuasaan. Monoteisme juga terjalin dengan militerisme karena keduanya sama-sama ingin menunjukkan kekuasaan, jangan macam-macam dengan saya! Tidak saja militer yang harus kembali ke barak tapi ulama juga harus kembali ke tempatnya. Dengan mengembalikan agama ke tempatnya, agama menjadi spirit dan bukan hukum. Sebab moralitas adalah spirit yang seharusnya tumbuh dari dalam diri manusia, sementra hukum adalah alat kekuasaan. (p. 478)!

Spiritualisme kritis (laku-kritik) pertama-tama bukan sikap anti, menolak, bahkan melawan. Kritis di sini berarti menyangga, memikulnya gar tidak jatuh ke tanah. Sebab jika kebenaran jatuh ke tanah hari ini, ia menjelma menjadi kekuasaan (p. 521). Misteri Allah tidak akan cukup diwakili dalam konsep satu (esa). Allah tidak terangkum dalam bilangan satu. Itulah misteri Allah. Dan itu dapat digambarkan dalam Bilangan Fu, bukan nol atau satu.

No Way Out?
Walau penulis tidak memaksudkan bahwa monoteisme jahat dan harus dihapus, namun apakah tidak ada jalan keluar lagi? Kiranya yang salah bukan pada monoteisme an sich melainkan pada bagaimana manusia memperlakukannya. Ketika ia mengklaim kebenaran tunggal, universal disanalah agama telah menjadi kekuasaan yang menindas. Dimensi pembebasan agama adalah ketika agama itu mampu menjunjung tinggi kemanusiaan, yang akhirnya keutuhan ciptaan.

Dalam bagian akhir dilukiskan juga bagaimana Kupu-Kupu, yang sebelumnya menyebut diri Farisi, mengalami pertobatan. Ia merawat kembali langgar kecil di pinggir Laut Selatan (yang tak berpintu di timur melainkan di selatan) yang didirikan gurunya Penghulu Semar. Begitu mudahkan seorang fanatis-garis keras bertobat? Ataukah ini demi plot happy ending semata? Tak tahulah. Tapi fanatisme, garis keras, atau apapun namanya tidak akan mudah mengalami pertobatan.

Ah…lebih baik mungkin saya menjadi seorang radikal saja dalam beragama. Radikal berasal dari radic (akar). Beragama berarti memahami akar agamaku, tanpa menjadi picik atau bahkan keblinger. Karena tujuan semuanya adalah Sang Pencipta sendiri, dari sana dan di sanalah manusia berasal dan akan kembali bersatu…..tabik.

(Ayu Utami, Bilangan Fu, Jakarta: KPG, 2008, x + 537 hlm)